Masji Al Haram

Masji Al Haram

Rabu, 15 Februari 2012

Apakah Tayamum Khusus Untuk Pria Atau Dibolehkan Untuk Pria Dan Wanita



Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta. 

Pertanyaan.
Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah tayamum itu berlaku bagi wanita sebagaimana berlaku bagi kaum pria, ataukah ketentuan tayamum itu dikhususkan bagi pria saja tanpa ditetapkan bagi wanita di saat tidak adanya air untuk melaksanakan shalat ?

Jawaban.
Pada dasarnya semua ketetapan-ketetapan hokum adalah bersifat umum, yaitu berlaku bagi kaum pria maupun kaum wanita kecuali jika ada pengkhususan bagi salah satunya, berdasarkan firman Allah.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah  dengan tanah yang baik (bersih) ; sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur" [Al-Ma'idah : 6]

Maka perintah untuk bertayamum dalam ayat ini adalah bersifat umum bagi kaum pria maupun kaum wanita, jadi mereka mempunyai ketetapan hokum tang sama dalam hal bertayamum, maka ijma ulama menetapkan disyari'atkannya tayamum bagi kaum pria dan kaum wanita.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah. 5/340]


[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq hal 34-35 Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]
Kategori: Wanita - Thaharah
Sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tanggal: Senin, 19 Juli 2004 14:28:24 WIB

Ada Apa Dengan Syaikh Ali Al-Halabi Dan Syaikh Kholid Al-Anbari -Hafidzahumallahu-???



Oleh : Ustadz Abdurrahman Thoyyib As-Salafy 

Diantara sekian banyak para masyayikh dakwah Salafiyah yang tidak selamat dari tuduhan Murji’ah yang dilontarkan oleh para harokiyin, sururiyin dan takfiriyin adalah Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari –hafidzhumallahu-. Dan yang amat disayangkan adalah adanya fatwa Lanjah Daimah yang juga ikut serta mendukung orang-orang tersebut dengan menuduh bahwa di dalam beberapa kitab kedua syaikh tersebut terdapat pemikiran Murji’ah. Padahal kalau ditilik kembali kitab-kitab mereka tersebut sangat jauh dari pemikiran Murji’ah. Mereka adalah masyayaikh Ahlu Sunnah yang jauh dari pemikiran Murji’ah, aqidah mereka aqidah Salaf Ashabul Hadits khususnya yang berkaitan dengan masalah iman. Oleh karenanya Syaikh Ali bin Hasan dan Syaikh Kholid menulis jawaban akan fatwa Lajnah Daimah tersebut. Mereka berdua meminta kepada Lajnah Daimah untuk membuktikan dengan jelas mana pemikiran Murji’ah yang terdapat dalam kitab mereka.

Adapun Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi –hafidzahullahu-, maka dalam menanggapi fatwa Lajnah Daimah serta tuduhan Murji’ah ini beliau banyak menulis kitab yang menjelaskan kepada siapa saja yang hatinya masih bersih akan jauhnya beliau dari aqidah Murji’ah. Maka barangsiapa yang telah teracuni oleh syubhat bahwa Syaikh Ali Murji’ah atau sebagian buku beliau ada pemikiran Murji’ah hendaklah membaca kitab-kitab berikut ini agar dia tidak berbicara kecuali dengan ilmu dan bukti yang nyata : Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah Ala Fatwal Lajnah Ad-Daimah, At-Ta’rif Wat Tanbi’ah, At-Tanbihaat Al-Mutawaaimah, Al-Hujjah Al-Qoimah Ala Fatwal Lajnah Ad-Daimah, Ar-Roddul Burhani, Kalimatun Sawaa dan lain-lain.

Diantara yang beliau ucapkan dalam menanggapi fatwa Lajnah Daimah adalah : “Oleh karena ucapan ulama meski tinggi derajat dan kedudukannya, bisa diterima dan bisa di tolak serta kemungkinan bisa salah bisa benar, maka saya ingin menulis sebuah dialog  ilmiah yang ringkas untuk menjawab fatwa lajnah yang terhormat. Semoga apa yang akan saya sampaikan ini dari hujjah-hujjah dan dalil-dalil menjadi penjelas bagi jalan kebenaran. Semoga rahmat Allah bagi Imam Abdurrohman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab yang telah berkata : “Wajib bagi orang yang masih mengasihi dirinya, apabila membaca kitab-kitab para ulama dan melihat isinya serta mengetahui ucapan mereka  agar dia menimbangnya dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Karena setiap mujtahid dari kalangan para ulama dan yang mengikuti mereka serta yang menisbatkan diri kepada mereka haruslah menyebutkan dalilnya. Kebenaran hanya satu dalam setiap permasalahan dan para imam-iman itu diberi pahala akan ijtihad mereka. Orang yang bijak ketika membaca ucapan mereka dan mempelajarinya, dia menjadikannya sebagai jalan untuk mengetahui permasalahan dan untuk mengetahui yang benar dan salah dengan melihat dalil-dalilnya…” Dari sinilah saya ingin memulai jawaban saya dengan penuh hormat terhadap para masyayyikh  yang mulia dan semoga  ucapanku dan dialog ini –insya Allah- sesuai dengan apa yang ada dalam hati kami dari penghormatan terhadap mereka…” [1]

Terlebih lagi fatwa tersebut tidak disepakati oleh seorang alim rabbani faqiihul ummah yang juga anggota kibarul ulama serta anggota Lajnah Daimah yaitu Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Inilah pendapat beliau tentang fawa tersebut : “Ini adalah suatu kesalahan dari Lajnah dan aku merasa terganggu dengan adanya fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum muslimin diseluruh negeri sampai-sampai mereka menghubungiku baik dari Amerika maupun Eropa. Tidak ada yang dapat mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyun (tukang mengkafirkan) dan tsauriyun (para pemberontak)”. Beliau juga berkata : “Saya tidak suka keluarnya fatwa ini, karena membuat bingung manusia. Dan nasehatku kepada para penuntut ilmu agar tidak terlalu berpegang teguh dengan fatwa fulan atau fulan”. [2]

Dan renungkanlah –wahai sauadaraku- ucapan emas dari seorang ahlu ushul serta imam dan khotib Masjidil Rasul صلی الله عليه وسلم, Fadhilatusy Syaikh Husein bin Abdul Aziz Alu Syaikh –hafidzahullahu-. Beliau pernah ditanya : Fadhilatusy Syaikh –jazakumullahu khairan- : Apa pendapat anda tentang fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da’imah seputar dua kitab Syaikh Ali bin Hasan –hafidzahullahu- (At-Tahdzir) dan (Shoihatu Nadzir), bahwa kedua kitab tersebut menyeru kepada pemikiran Murji’ah bahwasanya amal bukan syarat sahnya iman, padahal kedua kitab tersebut tidak membahas sama sekali tentang syarat sah atau syarat sempurna?!”

Beliau menjawab.
Pertama-tama : Wahai saudaraku ! Syaikh Ali dan Masyayikh diatas manhaj yang satu. Dan Syaikh Ali, beliau adalah saudara besar seperti para masyayikh yang mengeluarkan fatwa tersebut. Beliau mengenal baik mereka dan mereka juga mengenal baik beliau. Mereka saling mencintai (karena Allah,-pent).

Syaikh Ali telah diberi oleh Allah ilmu dan pengetahuan –wal lillahil hamdu- yang akan dapat mengobati perkara ilmiah antara beliau dan Masyayikh. Dan perkara ini –alhamdulillah- masih ditengah perjalanan menuju titik terang kebenaran.

Adapun Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Al-Albani dan yang diatas manhaj sunnah tidak diragukan lagi –wal lillahil hamdu- berada diatas manhaj yang diridhoi. Dan Syaikh Ali sendiri –wal lillahil hamdu- termasuk yang membela manhaj ahli sunnah wal jama’ah.

Fatwa Lajnah tidaklah memvonis Syaikh Ali sebagai Murji’ah dan ini tidak mungkin dilakukan oleh Lajnah!! Lajnah hanya berbeda pendapat dan berdialog dengan Syaikh Ali. Adapun orang lain yang menginginkan dari munculnya fatwa ini untuk memvonis Syaih sebagai Murji’ah maka aku tidak paham (apa maksud mereka). Dan saya kira saudara-saudaraku tidak memahaminya seperti itu. Mereka para Masyayikh sangat menghormati dan menghargai beliau.

Dan Syaikh Ali telah menjawab dengan jawaban ilmiah dalam kitab “Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah Alal Fatwal Lajnah Daimah” sebagaimana yang dialkukan oleh Salafush Shalih. Tidaklah ada diantara kita seorang pun melainkan bisa diambil ucapannya atau ditolak kecuali Rasul صلی الله عليه وسلم seperti yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah.

“Semua ucapan kadang bisa diterima dan terkadang bisa di tolak kecuali Rasul صلی الله عليه وسلم”

Demikianlah keadaan umat ini, terkadang ditolak dan terkadang diterima ucapannya. Akan tetapi manusia secara tabiatnya terkadang saat pembicaraan atau dialog terdapat sedikit nada keras sampai para sahabat رضي الله عنهم juga demikian, seperti yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar dan selain mereka dari kalangan sahabat.

Kesimpulannya bahwa fatwa ini menurutku tidak memvonis dan tidak menghukumi Syaikh Ali Murji’ah, akan tetapi fatwa tersebut hanyalah suatu dialog seputar buku beliau. Dan Syaikh Ali –semoga Allah selalu memberinya taufiq- ketika menulis ‘Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah” setelah munculnya fatwa tersebut bukan untuk membantah tapi hanya sekedar menjelaskan manhaj beliau dan guru beliau Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Kami yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Al-Albani rahimahullah sangat amat jauh sekali dari pemikiran Murji’ah seperti yang telah aku katakan dahulu.

Syaikh Ali misalnya kalau aku Tanya tentang apa itu iman? Demikian juga dengan Syaikh Al-Albani, maka tidaklah kami dapatkan sedikitpun dari ucapan mereka yang berbau Murji’ah yaitu bahwasanya amal bukan termasuk bagian dari iman. Bahkan ucapan-ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullah jelas-jelas menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dalam hati ucapan dalam lisan dan perbuatan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Saya kira Syaikh Ali menyetujuiku dalam hal ini yaitu bahwasanya fatwa Lajnah bukan seperti yang didengungkan oleh sebagian orang bahwa Syaikh Ali itu Murji’ah. Sekali-kali tidak, mereka para masayayikh tidak mengucapkan seperti ini. Mereka hanya berdialog seputar kitab tersebut. Dan tidaklah para salaf dahulu berdialog kecuali karena rasa kasih sayang dan kecintaan mereka terhadap sunnah dan untuk membela sunnah. Terlebih lagi dialog tersebut bukan tentang keseluruhan kitab akan tetapi bagian kecilnya saja.

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh mufti Kerajaan Saudi Arabia termasuk orang yang amat cinta terhadap Syaikh Ali dan aku tahu benar akan hal ini. Beliau sangat amat menghormati dan selalu mendoakan Syaikh Ali sampai setelah Syaikh Ali berjumpa dengan beliau, Samahatusy Syaikh tetap seperti itu.

Beliau juga amat menghormati dan mencintai Syaikh Al-Albani rahimahullah dari dahulu kala. Aku mengetahui hal ini semenjak Samahatusy Syaikh mengajar di kuliah Syari’ah tahun 1408H, beliau selalu menyebut nama Syaikh dengan pujian dan do’a.

Syaikh Al-Albani dan para masyayikh di Saudi Arabia dipersatukan oleh satu hal yaitu manhaj Salafush Shalih. Seandainya kita bersatu diatas hawa nafsu maka sungguh kita akan berpecah belah. Akan tetapi inilah perwujudan kasih sayang yang benar dan jujur.

Adapun kalau ada oran ketiga yang mengambil fatwa Lajnah Daimah ini dan bergembira ria karena sesuai dengan hawa nafsu mereka, tapi mereka meninggalkan yang tidak sesuai dengan mereka maka inilah jalannya ahli bid’ah” [3]

Demikian pula dengan Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari –hafidzahullahu- yang juga tertimpa musibah dengan datangnya fatwa Lajnah yang mencekal buku beliau “ Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallahu”. Padahal beliau termasuk masyayikh dakwah Salafiyah yang gigih memperjuangkan aqidah ahli sunnah sekaligus memerangi bid’ah serta hizbiyah dan amat jauh dari Murji’ah. Terlebih kitab beliau tersebut telah mendapat pujian dari para ulama semisal Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Dr Shalih bin Ghonim As-Sadlan Dosen Pasca Sarjana di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud.

Adapun pujian Syaikh Al-Albani rahimahullahu, maka beliau mengatakan : “Saudara Kholid bin Ali Al-Anbari telah menghadiahkan kepadaku kitab karangannya “Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallahu..” dan aku mendapati kitab tersebut telah memenuhi temanya yang tidak butuh lagi tambahan penjelasan” [4]

Syaikh Shalih bin Ghonim As-Sadlan –hafidzahullahu- berkata : “Aku mendapatkan kitab Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallahu…. Telah menepati judulnya dalam berpegang teguh dengan metode kenabian serta jalannya Shalafush Shalih dalam segala permasalahannya. Semoga Allah menganugrahkan kepada beliau pahala akan apa yang telah beliau bahas dan teliti. Dan semoga Allah memberikan manfaat lewat kitab beliau ini kaum muslimin baik para ulama, cendekiawan, masyayikh, penuntut ilmu, para da’i maupun masyarakat umum.

Beliau memulai kitabnya ini dengan menjelaskan macam-macam kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam : kufur takdzib, juhud, inad, I’rodh, syak dan nifak. Dan bahwasanya kekufuran itu bisa dari keyakinan, ucapan, maupun amal perbuatan. Beliau  juga menyinggung tentang kekufuran menurut Murji’ah yang menyempitkan pada kufur takdzib dalam hati saja. “Beliau juga berkata : (Kitab ini) ditulis dengan metode ilmiah yang kokoh, tidak ada caci maki maupun celaan buruk. Kitab ini amat sepesial dalam pembahasannya. Dan pengarang dalam masalah perincian hukum orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah telah sesuai pendapatnya dengan pendapat Samahatul Walid Mufti Mamlakah Saudi Arabia Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. [5], Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin serta Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani”.

Fatwa Lajnah ini pun juga di tentang dan disalahkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin seperti yang telah berlalu diatas dan bahwasanya tidak ada yang dapat mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyin dan tsauriyin. Begitu juga dengan Syaikh Shalih As-Sadlan yang tidak bisa menerima fatwa tersebut. [6]

Syaikh Kholid pun menanggapi fatwa ini dengan menulis sebuah makalah yang berjudul “ Al-Maqoolaat Al-Anbariyah Fi Tahkiimil Qowaaniin Al-Wadh’iyah”, diantaranya beliau mengatakan : “Tidak tersembunyi lagi bagi anda sekalian bahwa mewajibkan, mengharamkan hanyalah hak Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Oleh karenanya, saya memohon kepada anda sekalian untuk menjelaskan hujjah-hujjah syar’i mengenai keputusan Lanjah yang terhormat yang melarang dicetaknya kembali kitab (Al-Hukmu) yang telah terbit sejak lima tahun yang lalu…”

Maka disini penulis menasehatkan kepada siapa saja yang telah termakan isu atau syubhat bahwa buku Syaikh Kholid ini berada di atas manhaj Murji’ah agar dia membaca sendiri buku tersebut [7] dan meneliti manakah pemikiran Murji’ah yang dituduhkan itu !!! Demikian pula yang menuduh Syaikh Kholid Murji’ah agar dia membaca karangan Syaikh  Kholid yang berjudul Murji’atul Ashr (Murji’ah abad ini). Buktikan apakah beliau Murji’ah atau malah sebaliknya membantah Murji’ah!!!

Jika demikian ini keadaannya, masihkah kita berani menuduh Dakwah Salafiyah sebagai Murji’ah atau Jahmiyah ?!

“Artinya : Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)” [Al-Baqarah : 281]

“Artinya : Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi” [Al-Fajr : 14]
Begitu jelasnya bukti-bukti akan jauhnya Syaikh Al-Albani, Syaikh Ali Al-Halabi dan Syaikh Kholid Al-Anbari dari Murji’ah, namun masih ada saja orang yang buta akan hal ini.

Kebenaran bak matahari dan mata-mata ini yang melihatnya
Akan tetapi matahari itu tersembunyi bagi si buta
Kejelekan pemahamanmu membuatmu tuli dari ucapanku
Dan kesesatan membuat dirimu buta dari petunjukku.

Sebagai penutup, simak dan renungkan ucapan berharga dari seorang doktor spesialis kelompok-kelompok sempalan Syaikh Dr Nashir bin Abdul Karim Al-Aql –hafidzahullahu- : “Tidak semua orang dituduh Murji’ah dia benar Murji’ah. Terlebih di zaman ini, karena tukang-tukang pengkafiran dan orang-orang ekstrim dari kalangan Khawarij atau yang seperti mereka yang bodoh akan kaidah-kaidah Salaf tentang vonis, menuduh orang yang menyelisihi mereka dari kalangan ulama maupun penuntut ilmu dengan Murji’ah. Dan kebanyakan yang di gembar-gemborkan mereka adalah masalah berhukum dengan selain hukum Allah dan masalah wala’ serta baro’.

Dan terkadang sebagian yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dan sunnah ikut andil dalam menuduh tanpa adanya kehati-hatian. Bahkan sebagian penuntut ilmu yang sudah tinggi keilmuannya ketika menulis masalah takfir pada zaman ini menuduh orang yang menyelisihinya dalam masalah yang juga diperselisihkan oleh Salaf dengan tuduhan Murji’ah. Padahal permasalahannya jika diteliti kembali tidak termasuk prinsip Murji’ah” [7]

[Disunting dari artikel Dakwah Salafiyah Bukan Murji’ah]

[Disain dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 21 Th.IV. Rajab 1427H – Agustus 2006M. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy Surabaya, Alamat Redaksi Jl. Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya, Telp. 031-37311969]
___________
Foote Note
[1]. Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah ‘Alal Fatwa Lajnah Daimah, hal.4 oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi.
[2]. At-Ta’rif Wat Tanbihat hal.15
[3]. Ar-Roddul Burhani, hal. 256-259
[4]. Muqoddimah Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallahu, hal. 9
[5]. Syaikh Kholid berkata : “Menceritakan kepadaku orang yang terpercaya bahwa para takfiriyin mencoba untuk membujuk Syaikh Bin Baz agar mencekal kitab tersebut dan mereka berusaha untuk mejelek-jelekannya akan tetapi Syaikh membantah mereka hingga mereka pun gagal. Akan tetapi sepeninggal Syaikh rahimahullahu mereka berhasil (menjalankan makarnya)’
[6]. Al-Hukmu hal.16
[7]. Dan buku ini –Alhamdulillah- telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Kafirkah orang yang berhukum dengan selain Allah?”.
[8]. Al-Qodariyah wal Murji’ah, hal. 121 oleh Dr Nashir Al-Aql
Kategori: Al-Masaa'il
Sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tanggal: Kamis, 12 Juli 2007 11:42:23 WIB

Muqaddimah Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah



Oleh : Syaikh Khalid al Husainan 

Segala puji bagi Allah Yang Mahapenyayang Mahapengampun, Mahapemurah Mahaperkasa, Yang membolakbalikkan hati dan penglihatan, Mengetahui yang nampak maupun yang tersembunyi, Aku senantiasa memujiNya baik pagi maupun sore, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagiNya. Kesaksian yang menyebabkan diselamatkannya orang yang mengucapkannya dari adzab neraka. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad صلی الله عليه وسلم adalah nabiNya yang dipilih, shalawat semoga tercurah kepadanya, keluarganya, isteri-isterinya, dan para shahabatnya, yang mereka pantas  mendapatkan kedudukan yang agung dan mulia. Shalawat yang terus menerus sepanjang hari.

Sesungguhnya hal yang terpenting bagi seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari adalah mengamalkan sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم dalam keseluruhan tindak tanduknya, perkataan, perbuatannya sehingga keseluruhan kehidupannya diwarnai oleh sunnah Rasulullah  صلی الله عليه وسلم sepanjang pagi hingga sore.

Berkata Dzu Nun Al-Mishry.
"Salah satu tanda dari kecintaan kepada Allah Azza Wa Jalla adalah mutaba'ah (mengikuti) kekasihnya صلی الله عليه وسلم  dalam akhlaqnya, perbuatan-perbuatannya, perintah-perintahnya dan sunnah-sunnahnya.

Allah berfirman:

"Artinya : Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali Imran: 31]

Berkata Hasan Al-Bashri.

"Tanda-tanda kecintaan mereka kepada Allah adalah dengan mengikuti sunnah Rasul-Nya صلی الله عليه وسلم

Sesungguhnya (tinggi rendahnya) kedudukan seseorang mukmin diukur dengan kekuatan ittiba' (mengikuti) sunnah Rasul صلی الله عليه وسلم  maka ketika makin banyak sunnah yang ia jalankan maka semakin tinggi dan terhormat pula kedudukannya disisi Allah سبحانه و تعالى.

Oleh karena itu saya mengumpulkan pembahasan yang ringkas dalam rangka menghidupkan sunnah Rasul صلی الله عليه وسلم   dalam praktek keseharian kaum muslimin baik yang berkaitan dengan  ibadahnya, tidur, makan, minum, etika bergaul dengan sesama, cara bersuci, keluar masuk (rumah/masjid), berpakaian, dan keseluruhan tingkah lakunya

Renungkanlah bagaimana seandainya salah satu diantara kita  mengalami kehilangan harta maka pastilah kita mempedulikannya, bersedih atasnya, dan bersungguh-sungguh dalam usaha mencarinya sampai kita mendapatkannya (kembali). Namun sayang sekali, berapa banyak sunnah yang hilang dalam hidup kita, Apakah kita bersedih atasnya  dan berusaha mengaplikasikannya dalam kehidupan riil kita??

Saya (benar-benar) ingin membantu menguatkan manusia untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam mengamalkan sunnah dalam setiap urusan hidupnya dari pagi hingga sore karena mereka akan senantiasa mendapatkan keberuntungan (sebagai balasan) dibalik setiap sunnah-sunnah (yang dilakukan) dan lebih mencukupi daripada sekedar harta. Dan harta tidaklah bermanfaat lagi bagi  anda ketika tubuh anda diletakkan di kuburan dan ditaburkan atasmu debu.

Allah berfirman.

"Artinya : Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi" [Al A'laa: 16-17]

Maksud Dari Sunnah-Sunnah  Dalam Pembahasan Buku Ini.

Sunnah adalah, diberikan ganjaran orang yang melakukannya dan tidaklah mendapatkan hukuman orang yang meninggalkannya. Dan sunnah-sunnah tersebut adalah yang berulang kali (dilakukan) dalam waktu sehari semalam dan (sunnah) yang kita dapat melakukannya sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.

Aku telah memperoleh suatu hipotesis, apabila seseorang bersungguh-sungguh dalam melakukan sunnah-sunnah harian maka ternyata tidak kurang dari 1000 sunnah  di setiap urusan hidupnya. Dan Risalah ini semata-mata  ditujukan sebagai penjelas (sarana yang memudahkan penerapan sunnah-sunnah keseharian yang jumlahnya lebih dari 1000 sunnah).

Walaupun kesungguhan seorang muslim dalam menerapkan 1000 sunnah dalam sehari semalam maka otomatis dalam satu bulan dia sudah menerapkan 30000 sunnah. Maka lihatlah kepada orang-orang yang tidak mengetahui (jahil) terhadap sunnah-sunnah Rasul صلی الله عليه وسلم atau orang yang mengetahuinya namun tidak mengamalkannya, berapa banyak kedudukan (disisi Allah) dan kebaikan yang hilang dari dirinya dan sesungguhnya dia benar-benar termasuk golongan yang merugi

Faedah Dari Berpegang Teguh Dalam Menerapkan Sunnah

[a]  Dengan menerapkan sunnah kita akan sampai kepada derajat (al-Mahabbah) kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang mukmin
[b] Sebagai penampal kekurangan dari pelaksanaan ibadah yang wajib
[c] Pencegahan dari jatuhnya (seseorang) ke dalam bid'ah
[d] Sungguhnya penerapan sunnah merupakan bagian dari pengagungan terhadap syiar-syiar agama Allah

Wahai kaum muslimin hidupkanlah sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم dalam realita kehidupanmu. Jadikan sunnah sebagai tujuan hidupmu karena itulah tanda dari kecintaan yang sempurna kepada Rasulullah dan sebagai tanda mutaba'ah yang sebenarnya kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم


[Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]
Kategori: Amalan Sunnah
Sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tanggal: Minggu, 25 Juli 2004 00:00:53 WIB

Allah Akan Mencukupi Semua Urusan Orang Yang Bertawakal Kepada-Nya



Oleh : Dr. Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji 

Hal ini berdasarkan dari firman Allah yang berbunyi :

"Artinya : Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya". [Ath-Thalaq : 3]

Yaitu yang mencukupinya, Ar-Robi' bin Khutsaim berkata : Dari segala sesuatu yang menyempitkan (menyusahkan) manusia. [Hadits Riwayat Bukhari bab Tawakal 11/311]

Ibnul Qayyim berkata : Allah adalah yang mencukupi orang yang bertawakal kepadanya dan yang menyandarkan kepada-Nya, yaitu Dia yang memberi ketenangan dari ketakutan orang yang takut, Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong dan barangsiapa yang berlindung kepada-Nya dan meminta pertolongan dari-Nya dan bertawakal kepada-Nya, maka Allah akan melindunginya, menjaganya, dan barangsiapa yang takut kepada Allah, maka Allah akan membuatnya nyaman dan tenang dari sesuatu yang ditakuti dan dikhawatirkan, dan Allah akan memberi kepadanya segala macam kebutuhan yang bermanfa'at. [Taisirul Azizil Hamidh hal. 503]

Dan ini adalah ganjaran yang paling besar, yaitu Allah سبحانه و تعالى akan menjadikan diri-Nya sendiri sebagai yang memenuhi segala kebutuhan orang yang bertawakal kepada-Nya, dan sungguh Allah telah banyak menyebutkan kebaikan dan keutamaan yang menjadi ganjaran untuk orang-orang yang bertawakal kepada Allah, antara lain.

Firman Allah.

"Artinya : Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar". [Ath-Thalaq : 2]

"Artinya : Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahan dan akan melipat gandakan pahala baginya". [Ath-Thalaq : 5]

"Artinya :  Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya". [Ath-Thalaq : 4).

"Artinya : Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu ; Nabi-nabi, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya". [An-Nisa' : 69]

Sedangkan ayat yang menyebutkan sikap tawakal adalah firman Allah : "Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya". [Ath-Thalaq : 3]

Ibnu Al-Qayyim berkata : Perhatikanlah ganjaran-ganjaran yang akan diterima oleh orang yang bertawakal yang mana ganjaran itu tak diberikan kepada orang lain selain yang bertawakal kepada-Nya, ini membuktikan bahwa tawakal adalah jalan terbaik untuk menuju ketempat di sisinya dan perbuatan yang amat dicintai Allah. [Madarijus Salikin 2/128]

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه berkata. " Bersabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم : Jika seseorang keluar dari rumah, maka ia akan disertakan oleh dua orang malaikat yang selalu menemaninya. Jika orang itu berkata Bismillah (dengan menyebut nama Allah), kedua malaikat itu berkata : Allah telah memberimu petunjuk, jika orang itu berkata : Tiada daya dan upaya dan kekuatan kecuali kepada Allah, kedua malaikat itu berkata : Engkau telah dilindungi dan dijaga, dan jika orang itu berkata : Aku bertawakal kepada Allah, kedua malaikat itu berkata : Engkau telah mendapatkan kecukupan".[1]

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam bab Zuhud yang disanadkan kepada Amru bin 'Ash yang mengangkat hadits ini kepada Nabi صلی الله عليه وسلم beliau bersabda : 'Sesungguhnya di dalam hati anak Adam terdapat celah-celah, dan barangsiapa yang mengabaikan Allah pada setiap celah di dalam hatinya maka ia akan binasa, dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupi celah-celah yang ada dalam hatinya itu". [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah bab Zuhud : 4166 (2/1395) di dalam Az-Zawaid dikatakan bahwa hadist ini lemah sanadnya, dan di dalam Al-Mizan dikatakan bahwa hadits ini tertolak]

Sebagaimana diriwayatkan pula bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda : "Barangsiapa yang memutuskan gantungannya selain kepada Allah سبحانه و تعالى, maka Allah akan mencukupi baginya segala kebutuhannya, dan Allah akan mendatangkan rezeki baginya dari yang tak terduga".[Dikeluarkan oleh Thabrani dalam Ash-Shagir 1/115-116 dan diriwayatkan oleh Ibnu Abu Halim seperti yang disebutkan dalam Ibnu Katsir 8/174 dan Abu Shaikh dalam At-Targhib 2/538 lihat Majmu' Az-Zawa'id 10/303]

Yang memberi kecukupan hanyalah Allah saja, sebagaimana firman-Nya :

"Artinya : Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu" [Al-Anfal : 64]

Maksudnya  ; cukuplah Allah bagi kamu, dan cukuplah bagimu orang-orang yang beriman mengikutimu (Tafsir Ath-Thabari 10/37), maka kalian semua tak akan membutuhkan seseorang jika kalian bersama Allah, ini adalah pendapat dari Abu Shaleh Ibnu Abbas, dan juga berpendapat Ibnu Zaid, Muqatil (Zaad Al-Masir 3/556). Asy-Sya'bi (Tafsir Ath-Thabari 10/37) dan lain-lainnya, dan Ibnu Katsir tak menyebutkan selain pendapat ini (Tafsir Ibnu Katsir 4/30) Ada juga yang mengatakan bahwa artinya adalah : cukuplah bagimu Allah, dan cukuplah bagimu orang-orang yang beriman, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Al-Hasan dan diikuti oleh An-Nuhas. [Tafsir Al-Qurthubi 8/43]

Ibnu Al-Jauzy berkata : Bahwa yang benar adalah pendapat yang pertama (Zaad Al-Masir 3/256), hal itu berdasar pada petunjuk bukti kajian bahwa sesungguhnya yang bisa memberi kecukupan hanyalah Allah سبحانه و تعالى. [Adlwa'u Al-Bayan]

Ibnu Al-Qayyim berkata :  Ini begitu juga dengan pendapat sebagian orang adalah suatu kesalahan yang nyata, tidak boleh mengartikan ayat ini seperti ini (pendapat kedua), dan bahwa sesungguhnya yang bisa memberi kecukupan hanyalah Allah semata, begitu juga dengan tawakal, taqwa dan penyembahan hanyalah kepada Allah, dan Allah سبحانه و تعالى telah berfirman dalam Al-Qur'an

"Artinya : Dan jika mereka bermaksud hendak menipu, maka sesungguhnya cukplah Allah (menjadi pelindung). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin". [Al-Anfal : 62]

Lalu dia (Ibnu Al-Qayyim) membedakan antara memberi kecukupan dengan memberi kekuatan yang bisa memberi kecukupan hanyalah Allah سبحانه و تعالى semata, sementara yang bisa memberi kekuatan adalah hanyalah Allah dengan membantunya dan juga bersama hamba-hamba Allah lainnya, Allah telah memuji kepada orang-orang yang bertauhid serta orang-orang yang bertawakal di antara hamba-hambanya, yang mana Allah menghususkan mereka untuk mendapat kecukupan dari Allah سبحانه و تعالى, maka Allah berfirman :

"Artinya : (Yaitu) orang-orang (yang menta'ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan :' Sesungguhnya manusia telah mengupmpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka', maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab : 'Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung". [Ali Imran : 173]

Dan mereka tidak pernah mengatakan : cukuplah Allah bagi kami dan Rasulnya.

Jika mereka berpendapat seperti ini dan Allah memuji mereka seperti itu, maka bagaimana mungkin Allah mengatakan kepada utusan-Nya dengan mengatakan : Allah dan pengikut-pengikutmu akan memberimu kecukupan, sementara para pengikut Muhammad صلی الله عليه وسلم telah menjadikan Allah satu-satunya yang memberi kecukupan, dan mereka tidak pernah men-sekutu-kan Allah dengan Rasul-Nya dalam masalah memberi kecukupan, bagaimana mungkin mereka (para pengikut Muhammad) melakukan hal seperti ini ?! ini adalah kemustahilan yang paling Mustahil dan Kesesatan yang paling sesat.

Hal yang serupa dengan bahasan ini adalah firman Allah yang berbunyi :

"Artinya : Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata. 'Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah', (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)". [At-Taubah : 59]

Maka perhatikanlah, bagaimana Alllah menjadikan kewajiban untuk mematuhi diri-Nya dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya

"Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia". [Al-Hasyr : 7]

Dan menjadikan kecukupan itu hanya dengan diri-Nya semata, Allah tidak pernah mengatakan : dan mereka berkata : cukuplah Allah dan Rasul-Nya bagi kami, akan tetapi Allah menjadikan diri-Nya sendiri satu-satunya yang bersifat memberi kecukupan, seperti fiman Allah :

"Artinya : Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah". [At-Taubah : 59]

Dan Allah tidak pernah mengatakan : "dan kepada Rasul-Nya", akan tetapi Allah menjadikan berharap hanya kepada-Nya semata, sebagaimana firman Allah :

"Artinya : Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap"

Maka berharap, bertawakal, berlindung dan memberi kecukupan hanyalah kepada Allah semata, sebagaimana bahwa ibadah, taqwa dan sujud hanyalah milik Allah semata, begitu juga dengan sumpah dan bernadzar tidak diperbolehkan kecuali hanya kepada Allah semata.

Dan yang serupa dengan ayat ini adalah firman Allah yang berbunyi :

"Artinya : Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya". [Az-Zumar : 36]

Maka yang mencukupi berarti Dia pula yang melindungi, di sini Allah mengabarkan bahwa hanya Dia seoranglah yang memberi perlindungan kepada hamba-Nya, sekali lagi bagaimana mungkin Allah menjadikan hambanya para pengikut Nabi bersama Allah sebagaimana yang memberi kecukupan ?!, dalil-dalil yang membuktikan kesesatan penafsiran yang merusak ini lebih banyak lagi untuk disebutkan. [Zaad Al-Ma'ad 1/36-37]

[Disalin dari buku At-Tawakkul 'Alallah wa 'Alaqatuhu bil Asbab oleh Dr Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji dengan edisi Indonesia Rahasia Tawakal & Sebab Akibat hal. 84 - 89 Bab Buah Tawakal, terbitan Pustaka Azzam, Th 1999, Penerjemah Drs. Kamaluddin Sa'diatulharamaini dan Farizal Tirmidzi]
_________
Fote Note.
[1]. Hadits Riwayat At-Tirmidzi bab do'a 3426 (5/490) dan ia juga mengatakan bahwa hadits ini adalah : hadits baik, benar dan asing, kami tak mengetahuinya kecuali dengan ungkapan seperti ini. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah bab do'a 3886 (2/178), ia berkata di dalam Kitab Az-Zawaid : Bahwa di dalam sanad hadits ini terdapat Harun bin Abdullah, ia adalah seorang yang lemah. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadits Anas bab Adab 5073 (13/437), Ahmad dalam Musnadnya (1/66) yang lebih sempurna dari ungkapan ini. Hadits ini dibenarkan oleh Al-Albani sebagaimana dalah shahih Al-Jami Ash-Shagir 513, 227 (1/1950).